Selasa, 12 Mei 2009

बेबेरापा क्रितेरिया क्रितिकुस सस्त्र सस्त्र यांग Ideal

KRITERIA KRITIKUS SASTRA YANG IDEAL
Oleh: Drs.Syafruddin Noor

1. Seorang kritikus sastra yang ideal harus memiliki kompetensi yang bersifat universal, yaitu bahwa pengetahuan dan dan wawasannya tentang sastra harus luas dan menyeluruh. Karena seorang kritikus sastra di samping menguasai teori-teori tentang kritik sastra dia juga harus banyak membaca dan menelaah karya sastrawan di dalam maupun di luar negeri.

2. Seorang kritikus sastra yang ideal harus memiliki visi sastra yang universal sehingga mampu melakukan kajian dan penelaahan yang bersifat lintas bangsa dan budaya. Kajian dan penelaahan yang dilakukan kritik sastra sifat tidak terbatas pada regional kedaerahan tetapi bersifat lintas regional pada karya sastra dunia dengan menampilkan sifat hakiki budaya dan bangsa yang bisa diterima oleh bermacam-macam ras, suku, dan agama yang ada di dunia ini. Serta tidak memfokuskan pada hanya satu bangsa atau agama tertentu.

3. Seorang kritikus yang ideal harus memiliki pengetahuan dan pemahaman bahwa karya sastra mengalami perkembangan dan perubahan yang berlangsung secara terus menerus. Karena sifat karya sastra tersebut maka seorang kritikus sastra harus juga membuka diri atas perubahan tersebut sebab bila tidak maka seorang kritikus sastra akan mengalami pendangkalan pemahaman atau degredasi pemikiran serta ketertinggalan konsepsi dasar terhadap pemahaman kajian sastra yang berlaku dari priode ke priode berikutnya. Karena sifat sastra mengikuti perkembangan masyarakat dan sekaligus merefleksikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Maka seorang kritikus sastra memahami hal ini. Dengan pemahaman seperti yang dikemukakan di atas maka kritik atau kajian terhadap karya sastra harus juga mengikuti perkembangan tersebut. Dengan pengetahuan dan wawasan kritikus sastra yang disebutkan di atas, maka kajian dan telaah yang yang dilakukan oleh kritikus sastra akan menjadi hidup dan menarik untuk dibaca oleh para pemerhati karya sastra.
4. Seorang kritikus sastra yang ideal harus mampu menjembatani antara karya sastra dengan pembaca melalui kajian atau telaah yang dilakukannya. Karena dengan diangkatnya karya sastra untuk ditelaan oleh kritikus sastra maka karya sastra tersebut akan dapat diketahui kekurangan dan kelebihan untuk itu kritikus sastra diharapkan menilai dan menelaah karya sastra lebih objektif dan bijaksana dalam menilai.

5. Seorang kritikus sastra yang ideal mampu bersikap bijaksana dan tidak berat sebelah dalam menilai karya sastra. Hal tersebut dilakukan agar karya sastra yang ditelaahnya menjadi lebih memiliki nilai universal dan sempurna. Karena walau bagaimanapun baiknya karya sastra yang ditulis pengarang, namun apabila telaah yang dilakukan lebih condong ke subjektivitas maka hasil telaahnya akan sia-sia belaka.

6. Seorang kritikus sastra yang ideal adalah harus banyak membaca telaah sastra yang dilakukan orang lain. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar mampu menimbulkan daya pembeda dan daya banding yang tajam terhadap karya yang ditelaah. Penelaahan karya sastra yang sempurna akan lebih memhuat para pembaca kritik sastra dan para pembaca sastra umumnya akan lebih merasa membaca suatu ilmu yang diulas secara lugas dan ringan, pembaca merasa tidak terbeban oleh argumen teori yang dikemukakan oleh kritikus. Oleh karena itu apa yang diusahakan oleh kritikus sastra dalam menelaah karya sastra menjadi sempurna pada saat pembaca dan penikmat kritik sastra saling mencari kepentingan.
7. Seorang kritikus sastra yang ideal harus banyak menggauli karya sastra dan memahami berbagai teori tentang kritik. Selain itu seorang kritikus sastra harus mampu menghilangkan subjektivitas dalam menilai karya sastra yang dibaca. Karena seorang kritikus sastra harus mampu menilai berbobot tidaknya suatu karya yang dia baca. Kalau misalnya berbobot dijelaskan secara rinci melalui telaahannya, kalau tidak maka jelaskan dengan hati-hati. Berbobot tidaknya karya sastra yang dibaca akan kelihatan dari kemampuan kritikus sastra mengulas dan menyampaikannya kepada pembaca. Dengan penyampaian yang tepat dan sesuai dengan kriteria yang benar maka apa yang ditulis oleh kritikusa satra akan menjadi kebih pembaca pembaca terkadang menguasai mengetagui tidak hanya untuk dimiliki riteria yang patut menjadi kritikus sastra adalah orang yang betul-betul
8. Menjadi seorang kritikus yang ideal adalah orang yang serba tahu lebih awal dari pada penikmat sastra. Karena kritikus sastra adalah pemikir sedangkan pembaca karya adalah penikmat. Jadi sebagai pemikir harus memiliki argumen yang memadai untuk dikemukakan agar khalayak tidak merasa bosan dan merasa digurui. Dengan prinsif di atas maka seorang kritikus sastra harus punya felling yang kuat dalam menafsirkan karya sastra. Selain itu seorang kritikus sastra harus berhati-hati dalam mempertimbangkan dan memberikan penilaian terhadap karya sastra yang ditelaahnya.
9. Seorang kritikus yang ideal tidak boleh mengatakan bahwa karya sastra yang dibacanya sangat sulit dan sangat mudah dipahami. Karena hal tersebut cenderung bersifat menghakimi imajinasi pembaca. Dan melecehkan karya karya sastra tersebut. Karena berbobot tidaknya suatu tulisan (karya sastra) tergantung dari sudut mana penilaian yang dilakukan terhadap karya sastra tersebut.
10. Kritikus sastra yang ideal memiliki kemampuan untuk memelihara dan menjembatani antara peminat sastra (khalayak sastra) dan penulis sastra (sastrawan) Sehingga terjalin hubungan yang baik dan saling memerlukan satu sama lainnya. Termasuk juga dalam hal ini penerbit karya sastra yang bersangkutan.
11. Kritikus sastra yang ideal tidak memihak salah satu blok dalam komunitas sastra tetapi dia mampu merangkul keseluruhan komunitas dalam sastra pada zaman atau periode apapun.

Selasa, 05 Mei 2009

UNSUR CERITA REKAAN

I. Unsur Intrinsik Cerita
Unsure intrinsik adalah unsure-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri Unsure-unsur yang dimaksud adalah tema, plot/alur, penokohan, latar/pelataran,sudut pandangan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 23).

A. Tema Cerita
Nurgiyantoro (2002: 70), tema adalah gagasan dasar umum atau dasar (utama) cerita yang sekaligus tujuan (utama) cerita, dengan kata lain tema adalah makna yang dikandung cerita. Atau dengan kata lain tema merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga mampu memaparkan suatu karya fiksi yang diciptakannya. Tema suatu cerita menyangkut segala persoalan dalam kehidupan manusia, baik itu merupakan masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan dan sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita diperlukan apresiasi terhadap seluruh bagian cerita itu. Tema bisa ditipkan pada karakter tokoh, bentuk alur, atau pada latar.
Untuk menyatakan suatu tema, kita ambil contoh cuplikan cerpen ”Kangen” karya Ign Arya Sanjaya di bawah ini.
Tapi sayangnya dia bukanlah seorang seniman. Dia hanyalah seorang yang kebetulan terdampar di kota impian dunia ini, setelah sebelumnya melakukan perjalanan ke Moskow. Dan tak ada seorangpun yang dapat dihubungi di kota ini sehingga ia memutuskan untuk duduk-duduk saja di kafe ini dalam kesendirian. Pikirannya sedang beku, perasaannya sedang kosong hingga untuk menuliskan sedikit kabar di atas dua lembar kartu pos, yang terletak di atas meja di hadapannya pun dia tidak bisa. Kabar macam apa yang mesti dituliskan untuk mereka? Ah, dia betul betul tidak tahu.
Pengalaman di atas berkisah tentang keterasingan seorang tokoh. Dia berada di suatu tempat dalam kesendirian. Kangen sudah cukup tergambar dalam dalam penggalan itu. Rasa kangen akan timbul ketika seorang berada dalam kesepian dan keterasingan, terjauh dari orang yang dicintainya.

B. (Alur/Plot Cerita)
Staton (1965: 14) menyatakan; plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain (dalam; Nurgiyantoro, 2002: 113). Selain itu alur atau plot merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkasn oleh para pelaku dalam suatu cerita. Alur disusun tidak lepas dari tema. Jalan cerita yang disusun atau dijalin tidak boleh meloncat ke lain tema. Tiap-tiap kejadian dalam cerita akan selalu berhubungan sehingga seluruh cerita merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkankan. Alur meliputi beberapa tahapan, yaitu :

1. Pengantar atau Tahap Awal Terita adalah bagian cerita berupa lukisan waktu, tempat atau kejadian yang merupakan awal cerita. Nurgiyantoro (2002: 142) tahap awal biasanya disebut tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Ia misalnya berupa penunjukan dan pengenalan latar, tokoh, dan sebagainya.


2. Penampilan masalah atau tahap pertengahan cerita. Merupakan bagian yang menceritakan persoalan yang dihadapi oleh pelaku cerita. Tahap tengah cerita yang dapat disebut juga tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan (Nurgiyantoro 2002: 145) Dalam tahap ini dimunculkan peristiwa yang terjadi Peristiwa adalah peralihan dari suatu keadaan kekeadaan yang lain (Luxemburg, 1992: 150) dalam Nurgiyantoro (2002: 117). Dalam tahap ini juga pengarang memunculkan juga konflik. Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh tokoh cerita. Konflik dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yakni:Konfliks internal dan konflik eksternal Konfliks internal adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau tokoh-tokoh) cerita. Konflik ini merupakan konflik yang dialami tokoh dengan dirinya sendiri. Misalnya; terjadinya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah yang lainnya. Sedangkan Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang diluar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam atau pun manusia. Dengan demikian konflik eksternal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu; konflik fisik dan konflik social.Koflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Contohnya; permasalahan yang dialami seorang tokoh akibat adanya banjir besar, kemarau panjang, gunung meletus, kebakaran, dan sebagainya.Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan kontak antar manusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antarmanusia. Misalnya; terjadinya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah yang lainnya.

3. Puncak ketegangan (klimaks), Klimaks adalah konflik-konflik yang telah sedemikian meruncing, dan mencapi titik puncak (Nurgiyantoro, 2002: 123) atau masalah dalam cerita yang sudah sangat gawat, konflik telah memuncak.
4. Ketegangan menurun (anti klimaks), adalah masalah telah berangsung-angsur dapat di atasi dan kekhawatiran mulai hilang. Tahap ini dapat disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
5. Tahap Akhir Cerita atau Penyelesaian (resolusi) adalah masalah telah dapat diatasi atau diselesaikan. Jadi bagian ini berisi bagai mana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagai manakah akhir sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002: 145-146). Akhir yang dimaksud adalah: akhir yang bahagiakah? akhir yang menyedihkankah? atau akhir dari sebuah cerita yang diserahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menilainya.

Pembedaan plot berdasar kriteria waktu:
Plot lurus/maju/progresif; sesuai dengan urutan waktu (kronologis)
A – B – C – D – E Symbol A melambangkan tahap awal cerita, BCD
melambangkan tahap tengah, dan E merupakan tahap penyelesaian cerita.
Plot sorot balik/flash-back/regresif;
D1 – A – B – C – D2 – E
D1 melambangkan konflik cerita (permasalahan yang dialami tokoh), ABC merupakan sorot balik yang menceritakan rentetan kejadian tokoh sebelum mendapat konfliks (D1), D2 dan E merupakan kelanjutan dari awal cerita D1 yang mendapat konfliks dan mencapai klimaks serta peleraiannya.

C. Penokohan Dalan Cerita

Definisi Tokoh
Dalam cerita rekaan, ada individu yang diceritakan. Individu ini dalam karya satra lazim disebut tokoh.
Tokoh tersebut digambarkan mempunyai karekter atau watak, misalnya, pemarah, periang, pemabuk, atau rajin. Selain itu, tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 199:79) dalam Oemarjati (200774). Oleh karena itu, jika ingin mengetahui tokoh dalam cerita kita dapat mengajukan pertanyaan “siapa pelaku cerita?”
Penokohan atau karakteristik disebut juga perwatakan. Penokohan adalah cara pengarang melukiskan atau menggambarkan atau menemukan watak tokoh. Atau penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh dalam cerita. Citra tokoh ditampilkan pengarang melalui tindakan, cakapan, pikiran, penampilan fisik, dan apa yang diucapkan atau dipikirkan tokoh tentang dirinya (Sudiman, 1990: 61) dalam Oemarjati (2007: 74).

Penggambaran watak tokoh dapat diungkapkan dengan cara:
(1) Menyebutkan/menceritakan secara langsung (analitik). Penggambaran tokoh secara langsung disebut penggambaran secara analitik, yaitu pengarang atau pelaku lain menyatakan secara langsung watak-watak tokoh/pelaku.
(2) Mengungkapkan melalui dialog antar tokoh (diungkapkan secara tidak langsung. Misalnya, orang yang mempunyai watak pemarah, tidak langsung dikatakan ”dia pemarah”, tetapi dengan kalimat atau uraian lain sehingga pembaca mengetahui tokoh yang digambarkan dalam cerita tersebut memiliki sifat pemarah.Penggambaran tokoh secara tidak langsung disebut penggambaran secara dramatik, yaitu pengarang mengungkapkan watak tokoh dengan cara melukiskan/menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan tokoh/pelaku misalnya:
a. Dialog antara tokoh-tokoh yang ada dalam cerita.
b. Hasil gambaran tempat atau lingkungan tokoh.
c. Penggambaran ciri-ciri pisik tokoh.
d. Pandangan dari tokoh lain.
e. Penampilan tokoh, seperti cara berbicara, cara berpakaian, cara berdandan dsb.
f. Jalan pikiran tokoh.

3. Pembedaan Tokoh:
Pembedaan tokoh berdasarkan perwatakannya:
Protagonis
Tokoh protagonist adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, tokoh yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis, 1966:56) dalam Nurgiyantoro (2002:178).
Antagonis
Antagonis adalah yang menyebabkan terjadinya konflik. Antagonis beroposisi dengan tokoh protagonist, secara langsung atau tak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Namun, Konflik yang dialami tokoh protagonist bukan hanya disebabkan tokoh antagonis, akan tetapi ia dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan yang lebih tinggi dan sebagainya. Hal ini disebut dengan kekuatan antagonis (Nurgiyantoro, 2002: 179). Kekuatan antagonis adalah konflik yang dialami tokoh protagonist seorang di luar dari tokoh antagonis.
Pembedaan tokoh berdasarkan tingkatannya:
Tokoh utama
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah cerita. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Tokoh tambahan
Sedangkan tokoh tambahan hanyalah sebagai pendamping tokoh utama. Pemunculan/kehadirannya hanya kalau ada keterkaitan dengan tokoh utama, baik secara langsung atau tak langsung. Karena pemunculannya lebih sedikit, sehingga, tokoh tambahan tidak dapat dijadikan dalam pembuatan sinopis.
Namun dapat disadari, bahwa pembedaan tokoh dalam sebuah cerita panjang (Novel) tidak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat. Jadi, menurut Nurgiyantoro; tokoh tokoh tersebut dapat dibedakan menjadi tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambahan (yang memang) tambahan. Hal inilah antara lain yang menyebabkan orang bisa berbeda pendapat dalam hal menentukan tokoh-tokoh utama sebuah fiksi (2003: 178).


C. Latar/Setting
Latar yang disebut juga sebagai landas tunpu, menyaran pada pengertian; tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175) dalam Nurgiyantoro (2002: 216).
Selain itu latar juga dianggap sebagai segala keterangan atau petunjuk, pengucapan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra beserta tempatnya. Dari pengertian latar ini, dikenal adanya jenis-jenis latar, yaitu:
1. Latar waktu, (kapan terjadinya) ;
2. Latar tempat atau latar lingkungan (di mana);
3. Latar sosial (keadaan lingkungan masyarakat atau sistem kehidupan); dan
4. Latar alat/benda yang ada di lingkungan tokoh.
Pengungkapan latar ada yang secara langsung dan yang tidak langsung. Dalam cerita yang baik, antara latar dan penokohan sangat menyatu sehingga baik penokohan maupun latar tidak dapat dipertukarkan.
Cerpen atau cerita pendek adalah kisahan pendek, biasanya kurang dari 10.000 kata yang memberikan kesan tunggal dan dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. Oleh karena itu, latar cerpen biasanya hanya satu tempat, waktu, dan suasana.
Perhatikan contoh berikut!
...................
Suatu hari aku terkejut, Mbah Dalimin tampak begitu tuanya, namun masih memanggul empat atau lima tangga di punggungnya. Seharian tampak belum satupun yang laku.
”Ooooooonnndhoooo.....” suaranya menawarkan tangga dijualnya dengan suara yang membuat rasa getir orang yang mendengarnya.
Aku melongok kejendela, lalu memanggilnya.
”Ehh, Den Mweni” katanya sudah bernada pelo.
Aku keluar, dan meminta embah Dalimin meletakan dagangannya dahulu.
”Sudah lama, ya? Tahu-tahu den Wheni sudah besar seperti ini. Dahulu masih segini. Sudah berkeluarga, ya? Sudah berputra, ya ?” lalu tertawa terkekeh.
” Ia, Ya. Sudah lama, Ya. Kalau tangga daganganmu itu disambung, sampai sekarang mengukin hanya kurang sedikit sampai bulan Ya, Mbah!” Aku menggugoda.
Mbah Dalimin hanya tertawa terkekeh-kekeh.
”Ya Cuma itu den yang eMbah bisa.”
Aku memanggil Mas Wandi, Suamiku, yang ternyata sudah muncul di bekangku.
” Usahakan kita seolah butuh sebuah,” bisikku di dekat telinga suamiku.
Mula-mula Mas Wendi terbengong,” Kita sudah punya dua buah. Itu pun jarang dipakai,” Suamiku terbengong. Aku mencubit pahanya hingga meringis. Dan akhirnya suamiku paham.
”Aku Butuh sebuah, Mbah!”
”Wuah, dengan senang hati, Den. Pilih saja yang mana!” Mbah Dalimin membuka tali pengikat tangannya, lalu mempersilahkan kami untuk memilih sebuah.
Suamiku kusuh mengambil satu. Dan ia memilih seenaknya.
” Untuk ini berapa Mbah?”

D. Sudut Pandang/Titik Pengisahan (point of view)
Sudut pandang merupakan tekhnik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca (Stevick, 1967: 107) dalam Nurgiyantoro (2002: 249). Sudut pandang tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua maca; sudut pandang persona pertama, dengan gaya “aku/saya”, di sini narator seseorang yang terlibat dalam cerita. Sedangkan persona ketiga, dengan gaya “dia/-nya/mereka/penyebutan nama”, di sini narator adalah seseorang yang berada di luar cerita.
Sudut pandang atau titik pengisahan dalam cerita mencakup:
1. Sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita.
2. Sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita.
3. Sudut pandang pribadi, yaitu hubungan atau keterlibatan pengarang dengan pokok masalah dalam cerita.



E. Amanat
Amanat adalah pesan yang akan disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Dalam cerita rekaan, terdapat pesan yang dituangkan oleh pengarang. Pesan atau amanat ini dapat ditafsirkan sendiri oleh pembacanya. Tidak mustahil terjadi perbedaan penafsiran amanat pembaca dengan anamat atau pesan yang dikehendaki pengarang


F. Gaya Bahasa atau Majas.
Majas adalah pemakaian bahasa atau kata-kata kiasan yang bersifat perbandingan dan tepat untuk melukiskan suatu maksud.
Suwondo (2003:132-151) gaya bahasa adalah:
a. Pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis.
b. Pemakaian kata tertentu untuk memperoleh efek tertentu.
c. Keseluruhan sekelompok penulis sastra.

Macam-macam majas.
Majas Perbandingan
Yang dimaksud dengan majas perbandingan adalah penggunaan kata-kata untuk melukiskan sesuatu dengan membandingkannya dengan hal lain. Majas perbandingan meliputi majas-majas:

(1) Personifikasi adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan melekatkan sifat-sifat manusia pada benda mati seolah-olah mempunyai sifat seperti mahluk hidup.Contoh: Suara angin malam menjerit-jerit menyayat hati. Mata pisau itu memandang tajam kepadaku

(2)Metapora adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan perbandingan langsung dan tepat atas dasar sifat yang sama atau hampir sama.
Contoh: Badannya kurus kering sehabis sakit

(3)Antitesis adalah majas yang mengadakan perbandingan antara dua antonim.
Contoh:
Dia bergembira di atas penderitaan orang lain.
Dia memang miskin tetapi tetapi hatinya merasa lebih kaya dengan pekerjaannya yang ada sekarang.

(4) Hiperbola adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan mengganti peristiwa atau tidakan yang sesungguhnya dengan pernyataan yang berlebih-lebihan.
Contoh : Suara dentuman itu mengelegar membelah angkasa.

(5)Litotes adalah majas yang melukiskan keadaan dengan kata-kata yang berlawanan artinya dengan kenyataan yang sebenarnyadengan tujuan merendahkan diri.
Contoh : Cicipilah masakan yang tiada berbumbu ini

II Unsur ekstrinsik Cerita
(Nurgiyantoro, 2002: 23) Unsur ekstrinsik adalah unsure-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisasi karya sastra. Wellek & Warren (1956: 75-135) pun menyatakan unsure-unsur ekstrinsik yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya (dalam Nurgiyantoro, 2002: 24).
Pendek kata unsure-unsur tersebut adalah unsure dari luar yang mempengaruhi pembentukan karya sastra, hal tersebut dapat berupa; unsure biografi, psikologi, maupun keadaan lingkungan (ekonomi, politik, dan sosial, dan lain-lain) pengarang.
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra. Unsur ekstrinsik meliputi nilai agama, sosial, ekonomi, budaya, politik dan biografi pengarang.
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, antara lain sebagai berikut:
1. Nilai moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak/budi pekerti/susila atau baik buruk tingkah laku tokoh dalam cerita.
2. Nilai Sosial/kemasyarakatan, yakni nilai yang berkaitan dengan norma yang berada di dalam masyarakat.
3. Nilai religius/keagamaan, yaitu nilai yang berkaitan dengan tuntutan beragama.
4. Nilai pendidikan/edukasi yaitu nilai yang berkaitan pengubahan tingkah laku dari baik keburuk (pengajaran).
5. Nilai estetis/keindahan, yaitu nilai yang berkaitan dengan hal-hal yang mearik/menyenangkan (rasa seni).
6. Nilai etika yakni nilai yang berkaitan dengan sopan santun dalam kehidupan.
7. Nilai politis, yaitu nilai yang berkaitan dengan pemerintahan.
8. Nilai budaya, yaitu nilai yang berkaitan dengan adat istiadat.
9. Nilai kemanusiaan, yaitu nilai yang berhubungan dengan sifat-sifat manusia.
Nilai-nilai ini ada yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, budaya, edukatif, humoris, dan sebagainya. Khusus nilai budaya adalah nilai adalah nilai yang berhubungan dengan peradapan kita sebagai manusia. Karena budaya mempunyai makna pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah, dan sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang/beradap/maju, maka nilai-nilai pun berkembang sesuai dengan masalah-masalah yang terjadi pada manusia.

Banjarmasin, 06 Mei 2009
Penyusun Materi : Drs.Syafruddin Noor Guru SMA N 11 Kota Banjarmasin Kalsel