Selasa, 12 Mei 2009

बेबेरापा क्रितेरिया क्रितिकुस सस्त्र सस्त्र यांग Ideal

KRITERIA KRITIKUS SASTRA YANG IDEAL
Oleh: Drs.Syafruddin Noor

1. Seorang kritikus sastra yang ideal harus memiliki kompetensi yang bersifat universal, yaitu bahwa pengetahuan dan dan wawasannya tentang sastra harus luas dan menyeluruh. Karena seorang kritikus sastra di samping menguasai teori-teori tentang kritik sastra dia juga harus banyak membaca dan menelaah karya sastrawan di dalam maupun di luar negeri.

2. Seorang kritikus sastra yang ideal harus memiliki visi sastra yang universal sehingga mampu melakukan kajian dan penelaahan yang bersifat lintas bangsa dan budaya. Kajian dan penelaahan yang dilakukan kritik sastra sifat tidak terbatas pada regional kedaerahan tetapi bersifat lintas regional pada karya sastra dunia dengan menampilkan sifat hakiki budaya dan bangsa yang bisa diterima oleh bermacam-macam ras, suku, dan agama yang ada di dunia ini. Serta tidak memfokuskan pada hanya satu bangsa atau agama tertentu.

3. Seorang kritikus yang ideal harus memiliki pengetahuan dan pemahaman bahwa karya sastra mengalami perkembangan dan perubahan yang berlangsung secara terus menerus. Karena sifat karya sastra tersebut maka seorang kritikus sastra harus juga membuka diri atas perubahan tersebut sebab bila tidak maka seorang kritikus sastra akan mengalami pendangkalan pemahaman atau degredasi pemikiran serta ketertinggalan konsepsi dasar terhadap pemahaman kajian sastra yang berlaku dari priode ke priode berikutnya. Karena sifat sastra mengikuti perkembangan masyarakat dan sekaligus merefleksikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Maka seorang kritikus sastra memahami hal ini. Dengan pemahaman seperti yang dikemukakan di atas maka kritik atau kajian terhadap karya sastra harus juga mengikuti perkembangan tersebut. Dengan pengetahuan dan wawasan kritikus sastra yang disebutkan di atas, maka kajian dan telaah yang yang dilakukan oleh kritikus sastra akan menjadi hidup dan menarik untuk dibaca oleh para pemerhati karya sastra.
4. Seorang kritikus sastra yang ideal harus mampu menjembatani antara karya sastra dengan pembaca melalui kajian atau telaah yang dilakukannya. Karena dengan diangkatnya karya sastra untuk ditelaan oleh kritikus sastra maka karya sastra tersebut akan dapat diketahui kekurangan dan kelebihan untuk itu kritikus sastra diharapkan menilai dan menelaah karya sastra lebih objektif dan bijaksana dalam menilai.

5. Seorang kritikus sastra yang ideal mampu bersikap bijaksana dan tidak berat sebelah dalam menilai karya sastra. Hal tersebut dilakukan agar karya sastra yang ditelaahnya menjadi lebih memiliki nilai universal dan sempurna. Karena walau bagaimanapun baiknya karya sastra yang ditulis pengarang, namun apabila telaah yang dilakukan lebih condong ke subjektivitas maka hasil telaahnya akan sia-sia belaka.

6. Seorang kritikus sastra yang ideal adalah harus banyak membaca telaah sastra yang dilakukan orang lain. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar mampu menimbulkan daya pembeda dan daya banding yang tajam terhadap karya yang ditelaah. Penelaahan karya sastra yang sempurna akan lebih memhuat para pembaca kritik sastra dan para pembaca sastra umumnya akan lebih merasa membaca suatu ilmu yang diulas secara lugas dan ringan, pembaca merasa tidak terbeban oleh argumen teori yang dikemukakan oleh kritikus. Oleh karena itu apa yang diusahakan oleh kritikus sastra dalam menelaah karya sastra menjadi sempurna pada saat pembaca dan penikmat kritik sastra saling mencari kepentingan.
7. Seorang kritikus sastra yang ideal harus banyak menggauli karya sastra dan memahami berbagai teori tentang kritik. Selain itu seorang kritikus sastra harus mampu menghilangkan subjektivitas dalam menilai karya sastra yang dibaca. Karena seorang kritikus sastra harus mampu menilai berbobot tidaknya suatu karya yang dia baca. Kalau misalnya berbobot dijelaskan secara rinci melalui telaahannya, kalau tidak maka jelaskan dengan hati-hati. Berbobot tidaknya karya sastra yang dibaca akan kelihatan dari kemampuan kritikus sastra mengulas dan menyampaikannya kepada pembaca. Dengan penyampaian yang tepat dan sesuai dengan kriteria yang benar maka apa yang ditulis oleh kritikusa satra akan menjadi kebih pembaca pembaca terkadang menguasai mengetagui tidak hanya untuk dimiliki riteria yang patut menjadi kritikus sastra adalah orang yang betul-betul
8. Menjadi seorang kritikus yang ideal adalah orang yang serba tahu lebih awal dari pada penikmat sastra. Karena kritikus sastra adalah pemikir sedangkan pembaca karya adalah penikmat. Jadi sebagai pemikir harus memiliki argumen yang memadai untuk dikemukakan agar khalayak tidak merasa bosan dan merasa digurui. Dengan prinsif di atas maka seorang kritikus sastra harus punya felling yang kuat dalam menafsirkan karya sastra. Selain itu seorang kritikus sastra harus berhati-hati dalam mempertimbangkan dan memberikan penilaian terhadap karya sastra yang ditelaahnya.
9. Seorang kritikus yang ideal tidak boleh mengatakan bahwa karya sastra yang dibacanya sangat sulit dan sangat mudah dipahami. Karena hal tersebut cenderung bersifat menghakimi imajinasi pembaca. Dan melecehkan karya karya sastra tersebut. Karena berbobot tidaknya suatu tulisan (karya sastra) tergantung dari sudut mana penilaian yang dilakukan terhadap karya sastra tersebut.
10. Kritikus sastra yang ideal memiliki kemampuan untuk memelihara dan menjembatani antara peminat sastra (khalayak sastra) dan penulis sastra (sastrawan) Sehingga terjalin hubungan yang baik dan saling memerlukan satu sama lainnya. Termasuk juga dalam hal ini penerbit karya sastra yang bersangkutan.
11. Kritikus sastra yang ideal tidak memihak salah satu blok dalam komunitas sastra tetapi dia mampu merangkul keseluruhan komunitas dalam sastra pada zaman atau periode apapun.

Selasa, 05 Mei 2009

UNSUR CERITA REKAAN

I. Unsur Intrinsik Cerita
Unsure intrinsik adalah unsure-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri Unsure-unsur yang dimaksud adalah tema, plot/alur, penokohan, latar/pelataran,sudut pandangan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 23).

A. Tema Cerita
Nurgiyantoro (2002: 70), tema adalah gagasan dasar umum atau dasar (utama) cerita yang sekaligus tujuan (utama) cerita, dengan kata lain tema adalah makna yang dikandung cerita. Atau dengan kata lain tema merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga mampu memaparkan suatu karya fiksi yang diciptakannya. Tema suatu cerita menyangkut segala persoalan dalam kehidupan manusia, baik itu merupakan masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan dan sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita diperlukan apresiasi terhadap seluruh bagian cerita itu. Tema bisa ditipkan pada karakter tokoh, bentuk alur, atau pada latar.
Untuk menyatakan suatu tema, kita ambil contoh cuplikan cerpen ”Kangen” karya Ign Arya Sanjaya di bawah ini.
Tapi sayangnya dia bukanlah seorang seniman. Dia hanyalah seorang yang kebetulan terdampar di kota impian dunia ini, setelah sebelumnya melakukan perjalanan ke Moskow. Dan tak ada seorangpun yang dapat dihubungi di kota ini sehingga ia memutuskan untuk duduk-duduk saja di kafe ini dalam kesendirian. Pikirannya sedang beku, perasaannya sedang kosong hingga untuk menuliskan sedikit kabar di atas dua lembar kartu pos, yang terletak di atas meja di hadapannya pun dia tidak bisa. Kabar macam apa yang mesti dituliskan untuk mereka? Ah, dia betul betul tidak tahu.
Pengalaman di atas berkisah tentang keterasingan seorang tokoh. Dia berada di suatu tempat dalam kesendirian. Kangen sudah cukup tergambar dalam dalam penggalan itu. Rasa kangen akan timbul ketika seorang berada dalam kesepian dan keterasingan, terjauh dari orang yang dicintainya.

B. (Alur/Plot Cerita)
Staton (1965: 14) menyatakan; plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain (dalam; Nurgiyantoro, 2002: 113). Selain itu alur atau plot merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkasn oleh para pelaku dalam suatu cerita. Alur disusun tidak lepas dari tema. Jalan cerita yang disusun atau dijalin tidak boleh meloncat ke lain tema. Tiap-tiap kejadian dalam cerita akan selalu berhubungan sehingga seluruh cerita merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkankan. Alur meliputi beberapa tahapan, yaitu :

1. Pengantar atau Tahap Awal Terita adalah bagian cerita berupa lukisan waktu, tempat atau kejadian yang merupakan awal cerita. Nurgiyantoro (2002: 142) tahap awal biasanya disebut tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Ia misalnya berupa penunjukan dan pengenalan latar, tokoh, dan sebagainya.


2. Penampilan masalah atau tahap pertengahan cerita. Merupakan bagian yang menceritakan persoalan yang dihadapi oleh pelaku cerita. Tahap tengah cerita yang dapat disebut juga tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan (Nurgiyantoro 2002: 145) Dalam tahap ini dimunculkan peristiwa yang terjadi Peristiwa adalah peralihan dari suatu keadaan kekeadaan yang lain (Luxemburg, 1992: 150) dalam Nurgiyantoro (2002: 117). Dalam tahap ini juga pengarang memunculkan juga konflik. Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh tokoh cerita. Konflik dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yakni:Konfliks internal dan konflik eksternal Konfliks internal adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau tokoh-tokoh) cerita. Konflik ini merupakan konflik yang dialami tokoh dengan dirinya sendiri. Misalnya; terjadinya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah yang lainnya. Sedangkan Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang diluar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam atau pun manusia. Dengan demikian konflik eksternal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu; konflik fisik dan konflik social.Koflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Contohnya; permasalahan yang dialami seorang tokoh akibat adanya banjir besar, kemarau panjang, gunung meletus, kebakaran, dan sebagainya.Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan kontak antar manusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antarmanusia. Misalnya; terjadinya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah yang lainnya.

3. Puncak ketegangan (klimaks), Klimaks adalah konflik-konflik yang telah sedemikian meruncing, dan mencapi titik puncak (Nurgiyantoro, 2002: 123) atau masalah dalam cerita yang sudah sangat gawat, konflik telah memuncak.
4. Ketegangan menurun (anti klimaks), adalah masalah telah berangsung-angsur dapat di atasi dan kekhawatiran mulai hilang. Tahap ini dapat disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
5. Tahap Akhir Cerita atau Penyelesaian (resolusi) adalah masalah telah dapat diatasi atau diselesaikan. Jadi bagian ini berisi bagai mana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagai manakah akhir sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002: 145-146). Akhir yang dimaksud adalah: akhir yang bahagiakah? akhir yang menyedihkankah? atau akhir dari sebuah cerita yang diserahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menilainya.

Pembedaan plot berdasar kriteria waktu:
Plot lurus/maju/progresif; sesuai dengan urutan waktu (kronologis)
A – B – C – D – E Symbol A melambangkan tahap awal cerita, BCD
melambangkan tahap tengah, dan E merupakan tahap penyelesaian cerita.
Plot sorot balik/flash-back/regresif;
D1 – A – B – C – D2 – E
D1 melambangkan konflik cerita (permasalahan yang dialami tokoh), ABC merupakan sorot balik yang menceritakan rentetan kejadian tokoh sebelum mendapat konfliks (D1), D2 dan E merupakan kelanjutan dari awal cerita D1 yang mendapat konfliks dan mencapai klimaks serta peleraiannya.

C. Penokohan Dalan Cerita

Definisi Tokoh
Dalam cerita rekaan, ada individu yang diceritakan. Individu ini dalam karya satra lazim disebut tokoh.
Tokoh tersebut digambarkan mempunyai karekter atau watak, misalnya, pemarah, periang, pemabuk, atau rajin. Selain itu, tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 199:79) dalam Oemarjati (200774). Oleh karena itu, jika ingin mengetahui tokoh dalam cerita kita dapat mengajukan pertanyaan “siapa pelaku cerita?”
Penokohan atau karakteristik disebut juga perwatakan. Penokohan adalah cara pengarang melukiskan atau menggambarkan atau menemukan watak tokoh. Atau penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh dalam cerita. Citra tokoh ditampilkan pengarang melalui tindakan, cakapan, pikiran, penampilan fisik, dan apa yang diucapkan atau dipikirkan tokoh tentang dirinya (Sudiman, 1990: 61) dalam Oemarjati (2007: 74).

Penggambaran watak tokoh dapat diungkapkan dengan cara:
(1) Menyebutkan/menceritakan secara langsung (analitik). Penggambaran tokoh secara langsung disebut penggambaran secara analitik, yaitu pengarang atau pelaku lain menyatakan secara langsung watak-watak tokoh/pelaku.
(2) Mengungkapkan melalui dialog antar tokoh (diungkapkan secara tidak langsung. Misalnya, orang yang mempunyai watak pemarah, tidak langsung dikatakan ”dia pemarah”, tetapi dengan kalimat atau uraian lain sehingga pembaca mengetahui tokoh yang digambarkan dalam cerita tersebut memiliki sifat pemarah.Penggambaran tokoh secara tidak langsung disebut penggambaran secara dramatik, yaitu pengarang mengungkapkan watak tokoh dengan cara melukiskan/menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan tokoh/pelaku misalnya:
a. Dialog antara tokoh-tokoh yang ada dalam cerita.
b. Hasil gambaran tempat atau lingkungan tokoh.
c. Penggambaran ciri-ciri pisik tokoh.
d. Pandangan dari tokoh lain.
e. Penampilan tokoh, seperti cara berbicara, cara berpakaian, cara berdandan dsb.
f. Jalan pikiran tokoh.

3. Pembedaan Tokoh:
Pembedaan tokoh berdasarkan perwatakannya:
Protagonis
Tokoh protagonist adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, tokoh yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis, 1966:56) dalam Nurgiyantoro (2002:178).
Antagonis
Antagonis adalah yang menyebabkan terjadinya konflik. Antagonis beroposisi dengan tokoh protagonist, secara langsung atau tak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Namun, Konflik yang dialami tokoh protagonist bukan hanya disebabkan tokoh antagonis, akan tetapi ia dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan yang lebih tinggi dan sebagainya. Hal ini disebut dengan kekuatan antagonis (Nurgiyantoro, 2002: 179). Kekuatan antagonis adalah konflik yang dialami tokoh protagonist seorang di luar dari tokoh antagonis.
Pembedaan tokoh berdasarkan tingkatannya:
Tokoh utama
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah cerita. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Tokoh tambahan
Sedangkan tokoh tambahan hanyalah sebagai pendamping tokoh utama. Pemunculan/kehadirannya hanya kalau ada keterkaitan dengan tokoh utama, baik secara langsung atau tak langsung. Karena pemunculannya lebih sedikit, sehingga, tokoh tambahan tidak dapat dijadikan dalam pembuatan sinopis.
Namun dapat disadari, bahwa pembedaan tokoh dalam sebuah cerita panjang (Novel) tidak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat. Jadi, menurut Nurgiyantoro; tokoh tokoh tersebut dapat dibedakan menjadi tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambahan (yang memang) tambahan. Hal inilah antara lain yang menyebabkan orang bisa berbeda pendapat dalam hal menentukan tokoh-tokoh utama sebuah fiksi (2003: 178).


C. Latar/Setting
Latar yang disebut juga sebagai landas tunpu, menyaran pada pengertian; tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175) dalam Nurgiyantoro (2002: 216).
Selain itu latar juga dianggap sebagai segala keterangan atau petunjuk, pengucapan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra beserta tempatnya. Dari pengertian latar ini, dikenal adanya jenis-jenis latar, yaitu:
1. Latar waktu, (kapan terjadinya) ;
2. Latar tempat atau latar lingkungan (di mana);
3. Latar sosial (keadaan lingkungan masyarakat atau sistem kehidupan); dan
4. Latar alat/benda yang ada di lingkungan tokoh.
Pengungkapan latar ada yang secara langsung dan yang tidak langsung. Dalam cerita yang baik, antara latar dan penokohan sangat menyatu sehingga baik penokohan maupun latar tidak dapat dipertukarkan.
Cerpen atau cerita pendek adalah kisahan pendek, biasanya kurang dari 10.000 kata yang memberikan kesan tunggal dan dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. Oleh karena itu, latar cerpen biasanya hanya satu tempat, waktu, dan suasana.
Perhatikan contoh berikut!
...................
Suatu hari aku terkejut, Mbah Dalimin tampak begitu tuanya, namun masih memanggul empat atau lima tangga di punggungnya. Seharian tampak belum satupun yang laku.
”Ooooooonnndhoooo.....” suaranya menawarkan tangga dijualnya dengan suara yang membuat rasa getir orang yang mendengarnya.
Aku melongok kejendela, lalu memanggilnya.
”Ehh, Den Mweni” katanya sudah bernada pelo.
Aku keluar, dan meminta embah Dalimin meletakan dagangannya dahulu.
”Sudah lama, ya? Tahu-tahu den Wheni sudah besar seperti ini. Dahulu masih segini. Sudah berkeluarga, ya? Sudah berputra, ya ?” lalu tertawa terkekeh.
” Ia, Ya. Sudah lama, Ya. Kalau tangga daganganmu itu disambung, sampai sekarang mengukin hanya kurang sedikit sampai bulan Ya, Mbah!” Aku menggugoda.
Mbah Dalimin hanya tertawa terkekeh-kekeh.
”Ya Cuma itu den yang eMbah bisa.”
Aku memanggil Mas Wandi, Suamiku, yang ternyata sudah muncul di bekangku.
” Usahakan kita seolah butuh sebuah,” bisikku di dekat telinga suamiku.
Mula-mula Mas Wendi terbengong,” Kita sudah punya dua buah. Itu pun jarang dipakai,” Suamiku terbengong. Aku mencubit pahanya hingga meringis. Dan akhirnya suamiku paham.
”Aku Butuh sebuah, Mbah!”
”Wuah, dengan senang hati, Den. Pilih saja yang mana!” Mbah Dalimin membuka tali pengikat tangannya, lalu mempersilahkan kami untuk memilih sebuah.
Suamiku kusuh mengambil satu. Dan ia memilih seenaknya.
” Untuk ini berapa Mbah?”

D. Sudut Pandang/Titik Pengisahan (point of view)
Sudut pandang merupakan tekhnik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca (Stevick, 1967: 107) dalam Nurgiyantoro (2002: 249). Sudut pandang tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua maca; sudut pandang persona pertama, dengan gaya “aku/saya”, di sini narator seseorang yang terlibat dalam cerita. Sedangkan persona ketiga, dengan gaya “dia/-nya/mereka/penyebutan nama”, di sini narator adalah seseorang yang berada di luar cerita.
Sudut pandang atau titik pengisahan dalam cerita mencakup:
1. Sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita.
2. Sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita.
3. Sudut pandang pribadi, yaitu hubungan atau keterlibatan pengarang dengan pokok masalah dalam cerita.



E. Amanat
Amanat adalah pesan yang akan disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Dalam cerita rekaan, terdapat pesan yang dituangkan oleh pengarang. Pesan atau amanat ini dapat ditafsirkan sendiri oleh pembacanya. Tidak mustahil terjadi perbedaan penafsiran amanat pembaca dengan anamat atau pesan yang dikehendaki pengarang


F. Gaya Bahasa atau Majas.
Majas adalah pemakaian bahasa atau kata-kata kiasan yang bersifat perbandingan dan tepat untuk melukiskan suatu maksud.
Suwondo (2003:132-151) gaya bahasa adalah:
a. Pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis.
b. Pemakaian kata tertentu untuk memperoleh efek tertentu.
c. Keseluruhan sekelompok penulis sastra.

Macam-macam majas.
Majas Perbandingan
Yang dimaksud dengan majas perbandingan adalah penggunaan kata-kata untuk melukiskan sesuatu dengan membandingkannya dengan hal lain. Majas perbandingan meliputi majas-majas:

(1) Personifikasi adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan melekatkan sifat-sifat manusia pada benda mati seolah-olah mempunyai sifat seperti mahluk hidup.Contoh: Suara angin malam menjerit-jerit menyayat hati. Mata pisau itu memandang tajam kepadaku

(2)Metapora adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan perbandingan langsung dan tepat atas dasar sifat yang sama atau hampir sama.
Contoh: Badannya kurus kering sehabis sakit

(3)Antitesis adalah majas yang mengadakan perbandingan antara dua antonim.
Contoh:
Dia bergembira di atas penderitaan orang lain.
Dia memang miskin tetapi tetapi hatinya merasa lebih kaya dengan pekerjaannya yang ada sekarang.

(4) Hiperbola adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan mengganti peristiwa atau tidakan yang sesungguhnya dengan pernyataan yang berlebih-lebihan.
Contoh : Suara dentuman itu mengelegar membelah angkasa.

(5)Litotes adalah majas yang melukiskan keadaan dengan kata-kata yang berlawanan artinya dengan kenyataan yang sebenarnyadengan tujuan merendahkan diri.
Contoh : Cicipilah masakan yang tiada berbumbu ini

II Unsur ekstrinsik Cerita
(Nurgiyantoro, 2002: 23) Unsur ekstrinsik adalah unsure-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisasi karya sastra. Wellek & Warren (1956: 75-135) pun menyatakan unsure-unsur ekstrinsik yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya (dalam Nurgiyantoro, 2002: 24).
Pendek kata unsure-unsur tersebut adalah unsure dari luar yang mempengaruhi pembentukan karya sastra, hal tersebut dapat berupa; unsure biografi, psikologi, maupun keadaan lingkungan (ekonomi, politik, dan sosial, dan lain-lain) pengarang.
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra. Unsur ekstrinsik meliputi nilai agama, sosial, ekonomi, budaya, politik dan biografi pengarang.
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, antara lain sebagai berikut:
1. Nilai moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak/budi pekerti/susila atau baik buruk tingkah laku tokoh dalam cerita.
2. Nilai Sosial/kemasyarakatan, yakni nilai yang berkaitan dengan norma yang berada di dalam masyarakat.
3. Nilai religius/keagamaan, yaitu nilai yang berkaitan dengan tuntutan beragama.
4. Nilai pendidikan/edukasi yaitu nilai yang berkaitan pengubahan tingkah laku dari baik keburuk (pengajaran).
5. Nilai estetis/keindahan, yaitu nilai yang berkaitan dengan hal-hal yang mearik/menyenangkan (rasa seni).
6. Nilai etika yakni nilai yang berkaitan dengan sopan santun dalam kehidupan.
7. Nilai politis, yaitu nilai yang berkaitan dengan pemerintahan.
8. Nilai budaya, yaitu nilai yang berkaitan dengan adat istiadat.
9. Nilai kemanusiaan, yaitu nilai yang berhubungan dengan sifat-sifat manusia.
Nilai-nilai ini ada yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, budaya, edukatif, humoris, dan sebagainya. Khusus nilai budaya adalah nilai adalah nilai yang berhubungan dengan peradapan kita sebagai manusia. Karena budaya mempunyai makna pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah, dan sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang/beradap/maju, maka nilai-nilai pun berkembang sesuai dengan masalah-masalah yang terjadi pada manusia.

Banjarmasin, 06 Mei 2009
Penyusun Materi : Drs.Syafruddin Noor Guru SMA N 11 Kota Banjarmasin Kalsel

Jumat, 24 April 2009

KOMUNIKASI BAHASA

KOMUNIKASI BAHASA

A. Pengantar
Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya dimiliki manusia. Dan alat komunikasi ini adalah lat komunikasi yang paling sesuai. Oleh karena itu, untuk memahami bagaimana wujud komunikasi yang dilakukan dengan bahasa ini, maka terlebih dahulu akan dibicarakan apa hakikat bahasa, apa hakikat komunikasi bahasa, kemudian baru dibicarakan apa dan bagaimana komunikasi bahasa itu, serta apa dan bagainama kelebihannya dari alat komunikasi lain.

2.1 Hakikat Bahasa
Ciri-ciri hakikat bahasa itu antara lain adalah bahwa bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
(1) Bahasa adalah suatu sistem artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat sistematisjuga bersifat sistemis. Dengan sistematis maksudnya bahasa tersusun menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya sistem bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem yakni, subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon. Setiap bahasa memiliki sistem yang berbeda dari bahasa yang lainnya. Misalnya, urutan kata dalam kalimat bahasa Latin adalah tidak penting, sebab susunan kalimat Paulus vidit Mariam yang artinya ’Paul melihat Mariam’ sama saja maknanya bila susunannya diubah menjadi Paulus Mariam vidit. Padahal susunan kalimat bahasa Indonesia Nenek melirik kakek tidak sama maknanya dengan Kakek melirik nenek. Mengapa demikian? Karena yang penting dalam bahasa Latin adalah bentuk kata, bukan urutan kata; sedangkan menurut sistem bahasa Indonesia baik bentuk kata maupun urutan kata sama-sama penting, dan kepentingannya itu berimbang. Oleh karena itu lazim disebut bahwa bahasa itu bersifat unuik, meskipun juga bersifat universal. Unik artinya memiliki ciri atau sifat khas yang tidak dimiliki bahasa lain; dan universal berati memiliki ciri yang sama yang ada pada semua bahasa.
Sistem bahasa yang dibicarakan di atas adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi. Artinya lambang-lambang itu berbentuk bunyi, yang lazim disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Umpamanya lambang bahasa yang berbunyi (spidol) melambangkan konsep/makna ’sejenis alat tulis bertinta’. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep, maka lambang tersebut tidak termasuk sistem suatu bahasa.

(2) Lambang bunyi bahasa bersifat arbitrer, artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah. Secara konkret, mengapa lambang bunyi (kuda) digunakan untuk menyatakan sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai adalah tidak dapat dijelaskan. Andaikata hubungan itu bersifat wajib, tentu untuk menyatakan binatang dalam bahasa Indonesia disebut (kuda) tidak ada yang menyebutnya < jaran>, atau .
Meskipun lambang-lambang basa itu bersifat arbiter tetapi juga bersifat konvensional. Artinya setiap penutur bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya, lambang hanya digunakan untuk menyatakan ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’ dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain. Sebab bila dilakukan ia telah melanggar konvensi itu.

(3) Bahasa itu bersifat produktif, artinya dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya menurut Purwadarminta bahasa indonesia hanya mempunyai lebih kurang 23.000 buah kata; tetapi dengan 23.000 kata dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.

(4) Bahasa bersifat dinamis, maksudnya bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Terutama yang nampak sering terjadi adalah pada perubhan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja ada kosa kata baru yang muncul, tetapi juga ada kosa kata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi. Umpamanya kata kempa, perigi, dan centang perenang yang dulu ada digunakan dalam bahasa Indonesia kini tidak digunakan lagi. Sebaliknya, kata-kata riset, kolusi, dan ulang alik yang dulu tidak dikenal, kini sudah bisa digunakan. Kedinamisan bahasa dalam tataran gramatika juga banyak menyebabkan terjadinya perubahan kaidah. Ada kaidah yang dulu berlaku kini tidak berlaku lagi. Umpamanya, dalam bahasa Indonesia dulu haruslah dikatakan ”bertemu dengan dua orang Inggris” dengan dua alasan, yaitu ”dua orang” adalah kata bilangan dan ”orang Inggris” adalah kata bendanya. Sekarang susunan kalimat tersebut haruslah berbentuk ”Bertemu dengan dua orang Inggris”.

(5) Bahasa itu beragam, artinya, meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama. Namun karena bahasa digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya tidak sama dengan bahasa Jawa di Pekalongan. Begitu juga bahasa Inggris yang digunakan di kota London tidak sama dengan bahasa Inggris yang digunkan di Kanada, dll.

(6) Bahasa itu bersifat manusiawi, artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa, yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan tidak dinamis. Bahasa dikuasai oleh para hewan secara instingtif (naluriah), sedangkan manusia menguasai bahasa dengan cara belajar. Tanpa belajar manusia tidak akan dapat berbahasa. Hewan tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari bahasa manusia. Oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa bersifat manusiawi, hanya milik manusia.

2.2. Fungsi-fungsi Bahasa
Secara tradisional bahwa bahasa adalah alat untuk berinteraksi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, juga perasaan. Konsep bahwa bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran sudah mempuryai sejarah yang panjang jika kita menelusuri sejarah studi bahasa pada masa lalu. Pada abad pertengahan (500-1500 M) studi bahasa kebanyakan dilakukan oleh para ahli logika atau ahli filsafat. Mereka menitikberatkan penyelidikan bahasa pada satuan kalimat yang dapat dianalisis sebagai alat untuk menyatakan proposisi benar atau salah. Mengapa? Karena studi bahasa rnereka satukan dengan studi retorika dan logika. Keberatan kita terhadap pendekatan seperti ini adalah apakah ekspresi keinginan, kesenangan, rasa nyeri, pertayaan, dan perintah juga merupakan dikotomi salah benar ? Dalam logika kalimat yang mempunyai nilai benar atau salah hanyalah kalimat deklaratif saja, padahal kita berbicara tidak hanya dalam kalimat deklarãtif atau mengguraikan saja. Dalam proses berkomunikasi pikiran hanyalah satu bagian dan sekian banyak informasi yang akan disampaikan. Dalam hal ini, Wardhaugh (1972: 3-8) juga mengatakari bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik tertulis maupun lisan. Narnun, fungsi ini sudah mencakup lima fungsi dasar, yang menurut Kinneavy disebut expression, information, exploration, persuasion, dan entertaiment (Michel 1967: 51).
Bagi sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab seperti dikemukakan Fishman (1972) yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah “who speak what language to whom, when and to what end”. Artinya "siapa yang berbicara, bahasa apa yangdigunakan, untuk siapa, ketika dan untuk apa yang akhir"
Oleh karena itu fungsi bahasa itu, antara lain, dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.

(1) Dilihat diri sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya, Si penutur bukan hanya mengiingkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah Si penutur sedih, marah, atau gembira.

(2) Dilihat dan segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimau si pembicara. Hal iñi dapat dilakukan si penutur dengan rnenggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan. Perhatikan kalimat-ka!imat berikut:
- Harap tenang. Ada ujian.
- Sehaiknya anda menelepon dulu.
- Anda tentu mau membantu kami.

(3) Bila dilihat dari segi kontak anata penutur dan pendengar bahasa di sini berfungsi fatik atau interpesonal atau interactional, yaitu fungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan, bersahabat atau solidaritas sosial. Waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca. atau menanyakan keadaan keluarga. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapannya tidak dapat diartikan secara harfiah. Misalnya, dalam bahasa lnggris ungkapan How do you do. How are you, Here you are, dan Nice day; (Apa kabar, Ini dia, pesiar Nice hari ini) dalam bahasa Indonesia ada ungkapan seperti ‘apa kabar, Bagaimana anak-anak, Mau kemana nih, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan fàtik ini biasanya juga disertai dengan unsur paralinguistik, seperti senyuman, gelengan kepala, gerak-gerik tangan, air muka, dan kedipan mata. Ungkapan-ungkapan tersbut yang disertai unsur paralinguistik tidak mempunyal arti, dalam arti memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial antara para partisipan di dalam pertuturan itu.

(4) Bila dilihat dan segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial ada juga yang menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif. Di sini bahasa itu berfungsi sehagai alat untuk membicarakan objek atau peristwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat sipenutur tentang dunia di sekelilingnya. Ungkapan-ungkapan seperti “ibu dosen itu cantik sekali “,atau” Gedung perpustakaan itu baru dibangun “ adalah contoh penggunaan bahasa yang berfungsi referensial.

(5) Dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu yang berfungsi metalingual atau metalinguistik (Jakobson 1960, Finnocchiaro 1974, yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan hahasa itu sendiri. Memang tampaknya agak aneh; biasanya bahasa itu digunakan untuk membicarakan masalah lain. Seperti masalah politik, ekonomi, atau pertanian. Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah dan aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa.

(6) Dilihat dari segi amanat (message) yang akandisampaikan maka bahasa itu berfungsi imajinatif (Halliday 1973) sedangkan Jakobson 1960 menyebutnya fungsi poetic speech. Karena sesungguhnya bahasa itu, dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, baik yang sebenaranya maupun yang imajinatif. Fungsi imajinatif biasanya berupakarya seni (puisi, cerita, dongeng, dan lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun para pendengarnya.

PERSPEKTIF BAHASA SEBAGAI SARANA BERPIKIR ILMIAH

PERSPEKTIF BAHASA SEBAGAI SARANA BERPIKIR ILMIAH DAN BAHASA AGAMA

I. PENGANTAR
Telah diketahui bahwa bahasa memegang peranan penting dan lazim dalam hidup dan kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia yang memperhatikan bahasa dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, seperti bernafas dan berjalan. Padahal bahasa mempunayi pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaannya. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Ernest Cassirer, sebagai mana yang dikutif oleh Jujun, bahwa keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuan berbahasa.

II. APAKAH SEBENARNYA BAHASA ?

Bahasa merupakan rangkaian bunyi. Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebenarnya, kita bisa berkomunikasi dengan mempergunakan alat-alat lain, umpamanya dengan memakai berbagai isyarat. Manusia mempergunakan bunyi sebagai alat komunikasi yang paling utama. Komunikasi dengan mempergunakanbunyi ini dikatakan juga sebagai komunikasi verbal dan manusia yang bermasyarakat dengan alat komunikasi disebut juga sebagai masyarakat verbal.

Bahasa merupakan lambang (simbol) dimana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata melambangkan suatu objek tertentu umpanya ’gunung’ atau seekor ’burung merpati’. Perkataan gunung dan burung merpati benar-benar merupakan lambang yang kita berikan kepada kedua objek tersebut. Kiranya patut disadari kita memberikan lambang kepada kedua objek tadi begitu saja. Di mana setiap bahasa , dengan bahasanya yang berbeda memberikan lambang yang berbeda pula. Menurut bahasa Indonesia objek tersebut dilambangkan dengan bunyi ”gunung” sedangkan bagi bahasa lain dilambangkan dengan mountain dalam bahasa Inggris atau jaba dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan ”merpati” yang berubah menjadi dove dalam bahasa inggris dan japati dalam bahasa Sunda.

Bahasa sebagai sarana komunikasi antar manusia, tanpa bahasa manusia sulit berkomunikasi. Tanpa komunikasi apakah manusia dapat bersosialisasi, dan apakah manusia layak disebut dengan mahluk sosial ? Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan berkomunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berpikir sistematis dalam menanggapi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur.

Bahasa itu bersifat arbitrer artinya ”mana suka” dan tidak perlu ada hubungan yang valid secara filosofis antara ucapan lisan dan arti yang dikandungnya. Hal ini akan lebih jelas bagi orang yang mengetahui

Bahasa sebagai sistem.
Bahasa yang berfungsi kalau unsur-unsurnya atau komponen-komponennya tersusun sesuai dengan polanya.

Bahasa itu bermakna.
Dari pasal-pasal terdahulu sudah dibicarakan bahwa bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, atau bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan. Maka, yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Oleh karena itu lambang-lambang itu mengacu kepada sesuatu konsep, ide, atau pikiran. Maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna.

Bahasa itu konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu
bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili
konsep yang diwakilinya.

Bahasa Bahasa itu Produktif
Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif adalah “banyak hasil’, atau lebih tepat ‘terus-menerus menghasilkan’. Lalu, kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka maksudnya, meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu.

Bahasa itu unik
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik, maka artinya, setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Misalnya salah satu keunikan Bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis. Maksudnya, kalau pada kata tertentu di dalam kalimat kita berikan tekanan, maka makna kata itu tetap.

Bahasa itu Universal
Selain bersifat unik, yakni mempunyai sifat atau ciri masing-masing, bahasa itu juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri yang universal ini tentunya merupakan unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa yang lain.

Bahasa itu dinamis,
Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat . Tak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Malah dalam bermimpipun manusia menggunakan bahasa. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu tidak tetap dan selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis. Karena itulah, bahasa itu disebut dinamis.

Bahasa itu bervariasi
Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam masyarakat bahasa. Siapakah yang menjadi atau termasuk dalam satu masyarakat bahasa? Yang termasuk dalam satu masyarakat bahasa adalah mereka yang merasa menggunakan bahasa yang sama.


III. FUNGSI BAHASA
Para pakar telah berselisih pendapat dalam hal fungsi bahasa. Aliran filsafat bahasa dan psikolinguistik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi. Sedangkan aliran sosiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat.
Menurut Haliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah sebagai berikut :
Fungsi Instrumental : Penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang bersifat materi seperti makan, minum, dan sebagainya.
Fungsi regulatoris: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku
Fungsi Interaksional : pengguna bahasa untuk saling mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain.
Fungsi Personal: seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran
Fungsi Heuristik : penggunaan bahasa untuk mencapai mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya.
Fungsi Imajinatif : pengguna bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata).
Fungsi Representasional : penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan serta menyampaikannya pada orang lain.

Kneller mengemukakan tiga fungsi bahasa sebagai yang dikutif oleh Jujun dalam bukunya Filsafat Ilmu, yaitu simbolik, emotif, dan efektif. Fungsi simbolik dan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi afektif menonjol dalam komunikasi estetik.
Sedangkan Buhler membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif, konotatif, dan representasional. Bahasa ekspresif adalah bahasa yang terarah pada diri sendiri yakni si pembicara; bahasa konotatif, yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara; dan bahasa representasional, yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya, yaitu apa saja selain si pembicara atau lawan bicara.


IV. BAHASA SEBAGAI SARANA BERPIKIR ILMIAH

Untuk dapat berpikir ilmiah, seseorang selayaknya menguasai kriteria maupun langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah. Dengan menguasai hal tersebut tujuan yang akan dicapai akan terwujud. Disamping menguasai langkah-langkah tentunya kegiatan ini di bantu oleh sarana berupa bahasa, logika matematika, dan statistika.
Bericara masalah sarana ilmiah, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu pertama, sarana ilmiah itu merupakan ilmu dalam pengertian bahwa ia merupakan kumpulan pengetahuan yang merupakan kumpulan pengetahuan yang didapat berdasarkan metode ilmiah, seperti menggunakan pola berpikir deduktif dan induktif dalam mendapatkan pengetahuan. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan penelaahan ilmiah secara baik.
Dengan demikian, jika hal tersebut dikaitkan dengan berpikir ilmiah, sarana ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuan berdasarkan metode ilmiah. Sarana berpikir ini juga mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Ini disebabkan sarana ini adalah alat bantu proses metode ilmiah dan bukan merupakan ilmu itu sendiri.
Bahasa sebagai lat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif dan deduktif. Dengan kata lain, kegiatan berpikir ilmiah ini sangat berkaitan erat dengan bahasa. Menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir belum tentu mendapatkan kesimpulan yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan benar. Premis yang salah akan menghasilkan kesimpulan yang salah salah juga. Semua itu tidak terlepas fungsi bahasa itu sendiri sebagai sarana berpikir.
Ketika bahasa disifatkan dengan ilmiah, fungsinya untuk komunikasi di sifatkan dengan ilmiah juga, yakni komunikasi ilmiah. Komunikasi ilmiah ini merupakan proses penyampaian informasi berupa pengetahuan. Untuk mencapai komunikasi ilmiah, maka bahasa yang digunakan harus terbebas dari unsur emotif. Disamping itu bahasa ilmiah juga bersifat reproduktif, dengan arti jika si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi berupa ”X” misalnya, si pendengar juga harus menerima ”X” juga. Hal ini dimaksudkan untuk tidak terjadi kesalahan informasi, di mana suatu informasi berbeda maka proses berpikirnya juga berbeda.

V. BAHASA ILMIAH DAN BAHASA AGAMA
A. Perbedaan Bahasa Ilmiah dan Bahasa Agama
Telah diuraikan sebelumnya bahwa bahasa ilmiah adalah bahasa yang digunakan dalam kegiatan ilmiah, berbeda dengan bahasa agama. Ada dua pengertian mendasar tentang bahasa agama, pertama bahasa agama adalah kalam ilahi yang terabadikan dalam kitab suci. Kedua, bahasa agama merupakan ungkapan serta prilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial. Dengan kata lain, bahasa agama dalam konteks kedua ini merupakan wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sajana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci. Walaupun ada perbedaan antara kedua bahasa ini namun keduanya merupakan sarana untuk menyampaikan sesuatu dengan gaya bahasa yang khas.
Bahasa ilmiah dalam tulisan-tulisan ilmiah, terutama sejarah, selalu dituntut secara deskriptif sehingga memungkinkan pembaca untuk ikut menafsirkan dan mengembangkan lebih jauh. Sedangkan bahasa agama selain menggunakan gaya deskriptif juga menggunakan gaya preskriptif, yakni struktur makna yang dikandung selalu bersifat imperatif dan persuatif di mana pengarang menghendaki si pembaca mengikuti pesan pengarang sebagaimana terformulasikan dalam teks. Dengan kata lain gaya bahasa ini cenderung memerintah. Gaya bahasa yang demikian kurang diperkenankan dalam bahasa ilimiah karena tidak mengembangkan pemikiran dan pengertian para pembaca. Jika demikian adanya, apakah bahasa agama yang bergaya demikian tidak baik ?
Bahasa agama dengan pengertian pertama yang barasal dari Tuhan tidaklah selalu tidak baik, di mana Dia Maha Bijak dalam memilah dan memilih ungkapan dengan tepat dan sesuai ruang, waktu, dan objek yang dituju. Dalam bahasa preskriptif Tuhan, terdapat juga narasi deskriptif dan ungkapan ungkapan metaforis yang mengandung pemikir-pemikir melakukan perluasan makna dan penafsiran yang lebih luas untuk mendekati makna dan tujuan yang dimaksud.
Bahasa ilmiah yang nota bene kreasi manusia bagaimanapun indahnya gaya bahasanya dan teraturnya urutan katanya.

B. Dekonstruksi Bahasa Agama
Dalam tradisi Islam, sejak awal diyakini bahwa teks itu tidak hanya terbatas pada kitab suci Al-Qur'an. Juga alam raya adalah teks, bahkan perilaku (tradisi) kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang kesemuanya menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang dikandungnya. Terdapat korelasi yang dialogis antara subyek (seorang muslim), teks Al-Qur'an, tradisi kenabian, dan realitas alam raya dengan hukum-hukumnya. Sejak pertama kali Al-Qur'an diwahyukan, ia sudah melakukan dekonstruksi radikal terhadap epistemologi serta syair-syair Jahiliyah waktu itu.
Ayat yang pertama diturunkan bunyinya adalah: "Bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan" (Q.S. 96:1). Jadi, sejak pertama umat Islam sudah ditantang untuk membaca teks berupa alam raya. Alam itu sendiri artinya "tanda" yang menunjuk kepada realitas di luarnya. Kemudian Al-Qur'an memperkenalkan "Ada" yang mendasari "semua yang ada" dengan berbagai cara yang bersifat dialogis dan relasional, bukannya definitif positivistik. Dengan mendasarkan pada Al-Qur'an, Al-Ghazali dalam bukunya, Sembilan Puluh Sembilan Asma Tuhan, secara jelas membedakan antara name, naming dan the named. Tuhan sebagai Realitas Absolut tidak mungkin dipahami oleh manusia kecuali secara tidak langsung, parsial dan relasional, yaitu melalui "jejak-jejak" karya-Nya yang kemudian menghubungkan manusia untuk mengapresiasi Tuhan sesuai dengan tingkat intelegensianya serta situasi etis-psikologisnya. Jadi, fungsi 99 nama Tuhan itu kira-kira merupakan "jendela" ataupun "tangga" bagi orang yang beriman untuk mendekati dan menyapa Tuhan, bukannya mendefinisikan-Nya. Jika Tuhan sebagai Realitas Absolut bisa difahami secara "natural" atau bisa "dipresentasikan" sebagaimana kaum positivistik menghadirkan realita, maka berarti Tuhan telah "dikuasai" oleh yang relatif, dan berarti dia tidak lagi sebagai Ada Mutlak.
Beberapa alasan mengapa perlu melakukan dekonstruksi terhadap bahasa agama dan bagaimana bisa dilakukan, antara lain ialah:
Pertama, Kitab Suci sebagai firman Tuhan diturunkan dalam penggalan ruang dan waktu, sementara manusia yang menjadi sasaran atau "pemakai jasa" senantiasa berkembang terus dalam membangun peradabannya. Dengan warisan kulminasi peradaban yang turun temurun masyarakat modern bisa berkembang tanpa rujukan kitab suci sehingga posisi kitab suci bisa saja semakin asing meskipun secara substansial dan tanpa disadari berbagai ajarannya dilaksanakan oleh masyarakat.
Kedua, bahasa apa pun juga, termasuk bahasa kitab suci, memiliki keterbatasan yang bersifat lokal karena bahasa adalah realitas budaya. Sementara itu pesan dan kebenaran agama yang termuat dalam bahasa lokal tadi mempunyai klaim universal. Di sini sebuah bahasa agama akan diuji kecanggihannya untuk menyimpan pesan agama tanpa harus terjadi anomali atau terbelenggu oleh kendaraan bahasa yang digunakannya.
Ketiga, ketika bahasa agama "disakralkan", maka akan muncul beberapa kemungkinan. Bisa jadi pesan agama terpelihara secara kokoh, tetapi bisa juga justru makna dan pesan agama yang fundamental malah terkurung oleh teks yang telah "disakralkan" tadi.
Keempat, kitab suci di samping kodifikasi hukum Tuhan adalah sebuah "rekaman" dialog Tuhan dengan sejarah di mana kehadiran Tuhan diwakili oleh Rasul-Nya. Ketika dialog tadi dinotulasi, maka amat mungkin telah terjadi reduksi dan pemiskinan nuansa sehingga dialog Tuhan dengan manusia tadi menjadi kehilangan "ruh"-nya ketika setelah ratusan tahun kemudian hanya berupa "teks".
Kelima, ketika masyarakat dihadapkan pada krisis epistemologi, kembali pada teks Kitab Suci yang "disakralkan" tadi akan lebih menenangkan ketimbang mengambil faham dekonstruksi yang mengarah pada relativisme-nihilisme.


VI. Beberapa Kekurangan Bahasa
Sebagai sarana komunikasi ilmiah bahasa memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan pertama terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah bahasa digunakan cenderung ke aspek simboliknya dan mengabaikan aspek emotif dan afektif bila ingin berkomunikasi secara ilmiah. Tetapi dalam kenyataannya hal tersebut tidak mungkin karena bahasa verbal harus mengandung ketiga unsur tersebut. Hal inilah salah satu kekurangan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah, yang dikatakan oleh Kemeny, sebagai mempunyai kecendrungan emosional. Pada prinsifnya bahasa ilmiah haruslah bersifat objektif tanpa mengandung emosi dan sikap; atau dengan perkataan lain, bahasa ilmiah haruslah bersifat antiseptik dan reproduktif.

Kekurangan kedua terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Jika kita ingin mengetahui arti dari istilah ilmu umpamanya, yang menjadi pokok pembicaraan kita selama ini, maka sukar sekali bagi kita untuk mendefinisikan ilmu tersebut dengan sejelas dan seeksak mungkin. Dipihak lain, usaha untuk menyampaikan arti sejelas dan seeksak mungkin dalam suatu proses komunukasi mungkin akan menyebabkan proses penyampaian informasi itu malah tidak komunikatif lagi diebabkan bahasa yang bertele-tele dan membosankan. Contoh definisi ilmu sebagai ”pengetahuan yang disusun secara konsisten dengan mempergunakan logika deduktif dan teruji secara empiris dengan mempergunakan logika induktif yang menyangkut kebenaran faktual dari dunia empiris yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk menguasai dunia fisik yang berguna bagi kemaslahatan hidupnya”. Definisi yang panjang ini tetap tidak memberikan arti yang jelas dan eksak terhadap hakikat ilmu yang sebenarnya. Pada contoh kehidupan sehari-hari kita ambil sebuah kata yang termasuk paling populer dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia yakni kata ”cinta”. Kata cinta ini sering dipakai pada lingkup yang sangat luas umpamanya dalam hubungan antara ibu dan anak, ayah dan anak, kakek dan nenek, dua orang kekasih, dua orang saudara, perasaan pada tanah air, dan ikatan pada rasa kemanusiaan yang besar. Dalam hal ini sukar bagi kita untuk memberi batasan yang tepat dan bersifat menyeluruh.

Kekurangan ketiga, terletak pada sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah kata kadang-kadang mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda. Controh kata ilusi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) mempunyai arti sebagai berikut:

Ilusi : angan-angan; khayal; 1. sesuatu yang memperdaya pikiran
dengan membereikan kesan yang palsu (seperti halnya dengan
para pelancong di padang pasir yang melihat sebuah danau,
yang sebenarnya tidak ada. 2. suatu gagasan yang keliru;
suatu kepercayaan yang tidak berdasar; keadaan pikiran yang
memperdaya seseorang.

Di samping itu bahasa mempunyai beberapa kata yang memberikan arti yang sama. Contoh pengertian tentang ”usaha kerja sama yang terkordinasi dalam mencapai suatu tujuan tertentu” disebutkan sebagai administrasi, manajemen, pengelolaan, dan tatalaksana. Suku Hanunoo dari filipina mempunyai 92 kata untuk beras sedangkan bahasa Eskimo mempunyai perbendaharan kata yang banyak sekali untuk salju. Sifat majemuk dari bahasa ini sering menimbulkan apa yang dinamakan kekacauan semantik, di mana dua orang yang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama namun untuk pengertian yang berbeda, atau sebaliknya, mereka mempergunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah pengertian yang sama.
Kekurangan keempat bahasa sering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam mempergunakan kata-kata terutama dalam memberikan definisi. Umpamanya kata ”pengelolaan” didefinisikan sebagai ”kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi”. Sedangkan ”organisasi” didefinisikan sebagai ”sesuatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah dari kegitan pengelolan”. Contoh lain yang sering kita temukan adalah perkatan ”data” yang diartikan sebagai ”bahan yang diolah menjadi informasi”;sedangkan ”informasi” diartikan sebagai ”keterangan yang didapat dari data”. Tak dapat dihindarkan lagi bahwa dalam memberikan definisi maka sebuah kata tergantung kapada kata-kata yang lain. Hal ini sebernarnya tak ada salahnya selama kata-kata yang dipergunakan itu sudah mempunyai pengertian yang jelas dan bukan bersifat berputar-putar seperti tampak pada contoh kata di atas. Dalam bidang ilmu-ilmu sosial masalah definisi ini makin tambah rumit, sebab seperti apa yang dikatakan Mak Weber, ahli-ahli ilmu sosial cenderung untuk selalu membikin definisi baru mengenai suatu obyek penelaahan ilmu-ilmu sosial, sebab mareka menganggap definisi yang dibikin oleh orang lain sabagai ”sikat gigi bekas”. Kelemahan yang lain dari bahasa adalah konotasi yang bersifat emosional seperti telah kita bicarakan pada bagian terdahul.
Masalah bahasa ini menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh daripara ahli filsafat modern. Kekacawan dalam filsafat menurut Wittgenstein, disebebkan karena ”kebanyakan dari pernyataan dan pernyataan ahli filsafat timbul dari keggalan mereka untuk menguasai iogika bahasa”. Pengkajian filsafa, termasuk pengkajian hakikat ilmu, pada dasarya merupakan analisis logic-linguistik. Bagi aliran filsafat tentu, seperti
filsafat analitik, maka bahasa bukan saja merupakan alat bagi berfilsafat dan berpikir, namu juga marupakan ”bahan dasar dan dalam hal tertentu merupakan hasil ahir dari filsafat”. Ahli filsafat seperti Henri Bergson (1859-1341) membedakan antara pengetehuan yang bersifat absolut yang didapat tanpa melalui bahasa dan pengetahuan yang bersifat relatif yang didapat lewat perantaraan bahasa. Pengetahuan hakiki bukan didapat lewat penalaran memainkan lewat intusi; tanpa diketahui kita sudah sampai disana, dengan kebenaran yang membukakan pintu, entah dari mana datangnya. Dan bahasa, menurut Whitehead, ” berhenti dibelakang intuisi”.

G . KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berpikir, bekarya dan melakukan sesuatu dengan simbol dan aturan yang disepakati oleh masyarakat pemakai bahasa. Dengan aturan dan kode tertentu bahasa dapat berfungsi sebagai sarana berpikir ilmiah untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif dan deduktif. Sebagai bahasa agama selain menggunakan gaya deskriptif juga menggunakan gaya preskriptif, yakni struktur makna yang dikandung selalu bersifat imperatif dan persuatif di mana pengarang menghendaki si pembaca mengikuti pesan pengarang sebagaimana terformulasikan dalam teks dan bahasa ini juga cenderung memerintah. Selain fungsi bahasa yang telah dijabarkan di atas bahasa mempunyai beberapa kekurangan-kekurangan pertama, karena bahasa bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Kekurangan kedua bahasa memiliki arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Kekurangan ketiga, terletak pada sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa.


Daftar Pustaka
Chaer, Abdul, Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta, 2007
Dr.H. Wahyu, M.S, Filsafat Ilmu. Banjarmasin : PS PBSD Unlam,2005
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta : yayasan Obor, 2001
Maruli H. Pangabean, Editor. Bahasa Pengaruh dan Peranannya, Jakarta : PT Gramedia 1981